Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Ini

Wednesday, October 20, 2010

Limbah Radio Aktif

  1. PENJELASAN


 

Limbah radioaktif adalah jenis limbah yang mengandung bahan/unsur/material radioaktif atau bersifat radioaktif yang tidak mempunyai tujuan praktis tertentu.

Jenis limbah radioaktif

  • Dari segi besarnya aktivitas dibagi dalam limbah aktivitas tinggi, aktivitas sedang dan aktivitas rendah.
  • Dari umurnya di bagi menjadi limbah umur paruh panjang, dan limbah umur paruh pendek.
  • Dari bentuk fisiknya dibagi menjadi limbah padat, cair dan gas.


     

  1. PENGELOMPOKAN LIMBAH RADIO AKTIF


 

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu paruh (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah. Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT).


 

Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi

  • limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 < LTR < 10-3Ci/m3)
  • limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 < LTS < 104Ci/m3)
  • limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3)


 

  1. TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah:

  • Teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.)
  • Teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.)
  • Teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi)
  • Teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi)

Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matriks beton, aspal, gelas, keramik, synrock, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matriks sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paruh (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD (nilai batas dosis) yang ditolerir untuk anggota masyarakat.

Limbah radiaktif biasanya dihasilkan dari sebuah proses nuklir misalnya proses fissi nuklir. Kebanyakan limbah radioaktif adalah limbah radioaktif dengan tingkat rendah, yang artinya mempunyai tingkat radiaoktivitas rendah (baik per massa atau per volume). Limbah radioaktif jenis ini biasanya diisi oleh material pelindung radiasi yang hanya sedikit terkontaminasi. Batas yang diijinkan (Clearance level) yang ditetapkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Definisi tersebut digunakan didalam peraturan perundang-undangan. Pengertian limbah radioaktif yang lain mendefinisikan sebagai zat radioaktif yang sudah tidak dapat digunakan lagi, dan/atau bahan serta peralatan yang terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif dan sudah tidak dapat difungsikan/dimanfaatkan. Bahan atau peralatan tersebut terkena atau menjadi radioaktif kemungkinan karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion.

Bahan radioaktif dapat dihasilkan dari kegiatan nuklir maupun kegiatan non-nuklir. Dari kegiatan nuklir, karena berurusan dengan penggunaan bahan radioaktif maka sudah barang tentu limbah radioaktif akan dihasilkan. Kegiatan nuklir yang dimaksud antara lain seperti pengoperasian reaktor riset, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/fasilitas nuklir. Sedangkan yang bukan berasal dari kegiatan nuklir atau biasa dikaitkan dengan apa yang disebut dengan NORM (Naturally Occurring Radioactive Material), dan TENORM (Technologically-Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material).

NORM merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam yang secara sadar atau tidak sadar merupakan bagian dari kehidupan manusia. NORM terdapat di mana-mana, karena hampir semua bahan alami, baik dalam tubuh, makanan, ataupun di lingkungan sedikit banyak mengandung bahan radioaktif alami. TENORM adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (batuan, tanah, dan mineral) dan terkonsentrasi atau naik kandungan radioaktivitasnya sebagai akibat dari kegiatan industri. TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk fosfat, produksi minyak dan gas, produksi energi geotermal. Regulasi pengelolaan NORM dan TENORM di beberapa negara maju telah ditetapkan, namun belum ada guideline dari IAEA.

Bahan radioaktif yang bukan berasal dari kegiatan nuklir biasa dikaitkan dengan apa yang disebut NORM dan TENORM. NORM adalah kependekan dari Naturally Occurring Radioactive Material, sedangkan TENORM adalah singkatan dari Technologically-Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material. NORM merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam yang secara sadar atau tidak sadar merupakan bagian dari kehidupan manusia. NORM terdapat di mana-mana, karena hampir semua bahan alami, baik dalam tubuh, di makanan, ataupun di lingkungan sedikit banyak mengandung bahan radioaktif alami.

TENORM adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (batuan, tanah, dan mineral) dan terkonsentrasi atau naik kandungan radioaktivitasnya sebagai akibat dari kegiatan industri. TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk fosfat, produksi minyak dan gas, produksi energi geotermal. Regulasi pengelolaan NORM dan TENORM di beberapa negara maju telah ditetapkan, namun belum ada guideline dari IAEA.


 

  1. NORM & TENORM DARI LIMBAH NON NUKLIR


    ABSTRAK
        NORM dan TENORM merupakan bahan diskusi yang sedang menjadi trend di kalangan pemerhati limbah radioaktif. Makalah ini merangkum status pengelolaan limbah NORM dan TENORM baik terkait dengan asal-usul limbah, regulasi dan pengkajian pembuangannya. Regulasi pengelolaan NORM dan TENORM di beberapa negara maju telah ditetapkan, namun belum ada guideline dari IAEA. Demikian pula banyak opsi teknologi untuk pembuangan limbah NORM dan TENORM dengan menggunakan standar penyimpanan/pembuangan limbah radioaktif. Perlu kehati-hatian dalam membuat keputusan dan kebijaksanaan penanganan NORM dan TENORM karena menyangkut masalah sosial dan ekonomi.

  2. PENDAHULUAN

NORM adalah kependekan dari Naturally Occurring Radioactive Material, sedangkan TENORM adalah singkatan dari Technologically-Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material. Dari nama tersebut dapat dijelaskan bahwa NORM merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam yang secara sadar atau tidak sadar merupakan bagian dari kehidupan manusia.

NORM terdapat di mana-mana, karena hampir semua bahan alami, baik dalam tubuh, di makanan, ataupun di lingkungan sedikit banyak mengandung bahan radioaktif alami. Sistem kehidupan telah terbiasa dengan radiasi dan radioaktivitas alami. Sedangkan TENORM, sesuai dengan artinya, adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (batuan, tanah, dan mineral) dan terkonsentrasi atau naik kandungan radioaktivitasnya sebagai akibat dari kegiatan industri.

TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk fosfat, produksi minyak dan gas, produksi energi geotermal. Di Indonesia kajian tentang NORM dan TENORM telah dilakukan meskipun belum intensif. Tabel 1 di bawah menunjukkan hasil analisis yang dilakukan oleh tim Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir-BATAN.


 

  1. PERMASALAHAN


    Konsentrasi radionuklida Radium-226 dan Ra-228, berturut-turut merupakan hasil peluruhan uranium dan torium dengan waktu paruh 1600 tahun, biasanya ditemukan di dalam bahan dan limbah NORM/TENORM. Radionuklida tersebut merupakan komponen utama sumber paparan radiasi alami terhadap manusia dari lingkungannya. Radium-226 dari bahan NORM/TENORM dapat dijumpai dengan konsentrasi dari tak terdeteksi sampai ratusan ribu pikocurie per gram. Sebagai contoh tanah di Amerika Serikat mengandung Radium-226 dari di bawah 1 pCi sampai di atas 4 pCi pergram. Biasanya untuk mengetahui adanya NORM/TENORM di lingkungan dilakukan deteksi terhadap radium dan radon.

Total NORM/TENORM yang diproduksi di Amerika Serikat setiap tahun lebih dari 1 milyar ton. Sebagian besar radiasi limbah tersebut relatif rendah dibanding dengan volumenya. Hal ini menyebabkan munculnya dilema, di satu sisi penyimpanan/pembuangan limbah berbiaya tinggi sedangkan di sisi yang lain hampir tidak ada nilainya (rendah) bila NORM/TENORM dipisahkan. Selain itu, terbatas sekali lokasi yang dapat menerima limbah radioaktif. Sebagian besar limbah NORM/TENORM tetap berada dalam kondisi belum dibuang (undisposed) dan dapat ditemukan di banyak tempat, terutama di lokasi pertambangan yang ditutup sebelum era 1970.

Banyak NORM/TENORM yang dijumpai dengan konsentrasi yang sangat rendah dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari manusia. Namun ada juga NORM/TENORM yang mempunyai konsentrasi radionuklida tinggi dan mampu menaikkan paparan radiasi.

Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian dalam masalah NORM/TENORM, yaitu:

  • NORM/TENORM mempunyai potensi menyebabkan naiknya paparan radiasi.
  • Masyarakat luas belum memahami masalah NORM/TENORM dan perlu diberi informasi.
  • Industri yang menghasilkan TENORM perlu mendapatkan petunjuk tambahan untuk membantu mengelola TENORM sehingga dapat melindungi masyarakat dan lingkungan, serta pengelolaannya ekonomis.


     

Koordinasi penanganan NORM/TENORM di Indonesia merupakan kegiatan yang melibatkan lembaga pemerintah (BATAN, BAPETEN, DEPKES, BAPEDAL, Departemen terkait), lembaga swadaya masyarakat, dan ilmuwan/akademisi yang tertarik dengan permasalahan NORM/TENORM. Koordinasi yang efektif akan mampu mencari solusi penanganan NORM/TENORM dan merupakan tanggung jawab negara dan masyarakat.

Keputusan mengenai peraturan NORM/TENORM harus mampu dipahami tidak hanya oleh ilmuwan, namun juga dimengerti oleh politisi, industriawan, serta masyarakat.


 

  1. ASAL TENORM

Permasalahan TENORM berfokus pada limbah hasil proses industri. Sebagian besar limbah TENORM yang dihasilkan mempunyai volume yang besar, tetapi beraktivitas rendah. Sebagian TENORM menjadi limbah yang terbuang, namun ada pula yang terikut dengan barang produksi yang digunakan secara komersial. Suatu kegiatan pembuangan, penggunaan serta daur ulang TENORM mempunyai potensi menimbulkan kontaminasi dan paparan radiasi yang tak diinginkan kepada masyarakat.

    Pembuangan TENORM pada tempat galian atau tumpukan yang tak memenuhi syarat keselamatan dapat mencemari air tanah, serta sebaran debu radioaktif serta gas radon.

Penggunaan tanah yang mengandung TENORM untuk kegiatan perumahan dapat meracuni rumah dengan gas radon, paparan langsung kepada perorangan, mencemari tanah dan tumbuhan yang ditanam di media tersebut.

Penggunaan kembali bahan terkontaminasi TENORM sebagai agregat dalam semen akan menaikkan risiko radiasi anggota masyarakat dalam berbagai cara.

Radionuklida utama yang dikaji dalam makalah ini adalah 238U, 234U,230Th, 226Ra, dan 222Rn (dan anak luruhnya). Pada deret torium yang diperhatikan adalah 232Th, 228Ra dan 220Rn (dan anak luruhnya). Radionuklida 40K harus dikarakterisasi, sementara 226Ra digunakan sebagai acuan untuk mengukur aktivitas dan volume relatif di antara TENORM yang berasal dari berbagai sumber.

Terdapat 9 jenis sektor industri non nuklir yang yang sering menjadi bahan studi yaitu:

  • Industri fosfat
  • Pupuk fosfat dan kalium karbonat
  • Batu bara
  • Produksi minyak dan gas
  • Pengolah air bersih
  • Produksi energi geothermal
  • Industri kertas dan pulp
  • Scrap metal.


    Di antara kesembilan sektor industri tersebut, maka TENORM dari pupuk fosfat bukan berada dalam limbahnya, tetapi masuk dalam pembahasan ini karena penggunaannya yang sangat luas. Industri kertas dan pulp relatif baru dimasukkan dalam studi TENORM.


 

  • INDUSTRI FOSTFAT

    Ekstraksi batuan fosfat merupakan proses yang banyak dilakukan, bahkan di Amerika Serikat industri ini menduduki posisi ke lima di antara industri pertambangan lainnya. Batuan fosfat mengalami proses panjang untuk menghasilkan asam fosfat dan unsur fosfor. Keduanya kemudian dikombinasikan dengan senyawa kimia lainnya untuk menghasilkan pupuk fosfat, detergent, makanan hewan, produk makanan dan produk kimia fosfor.

    Namun sebagian besar digunakan untuk pupuk fosfat. Bijih fosfat terdiri atas sepertiga bagian pasir kuarsa, sepertiga bagian lainnya mineral tanah liat, serta sepertiga sisanya partikel fosfat. Konsentrasi uranium dalam bijih fosfat adalah antara 20-300 ppm (0,26 sampai dengan 3,7 Bq/gr), sedangkan kandungan torium berada pada level background yaitu sekitar 1- 5 ppm (3,7 sampai dengan 22,2 mBq/gr).

    Ketika partikel fosfat dipisahkan dari yang lain, maka dua macam limbah akan dihasilkan yaitu phosphatic clay tailing dan sand tailing. Sekitar 48% radionuklida yang berasal dari bijih fosfat berada dalam buangan clay tersebut, 10% berada dalam buangan pasir dan sisanya ada di partikel fosfat.

    Phosphogypsum adalah limbah utama hasil samping proses produksi asam fosfat dengan proses basah, sedangkan phosphate slag adalah hasil samping dari proses produksi unsur fosfor dengan proses termal. Tabel 3 menunjukkan radionuklida yang terdapat dalam phosphogypsum. Selama proses basah, terdapat pemisahan dan terkonsentrasinya radionuklida.

    Sekitar 80% 226Ra masuk ke dalam phosphogypsum, sedangkan 86% uranium dan 70% torium ditemukan dalam asam fosfat. Konsentrasi radium dalam phosphogypsum sekitar 0,41- 1,3 Bq/gr, serta anak luruhnya pada jangkauan yang hampir sama. Di beberapa negara maju phosphogypsum tersebut sering dijumpai untuk tujuan pertanian dan pembangunan sipil.

  • INDUSTRI PENGGUNA BATUBARA


 

    Konsumsi batu bara untuk energi di dunia industri menghasilkan abu batu bara yang membutuhkan penanganan khusus dalam pembuangannya, baik di tempat batu bara digunakan atau di lokasi lain. Karena secara alami batu bara mengandung uranium dan torium, maka abu terbang yang dihasilkannyapun mengandung kedua radionuklida tersebut sehingga mempunyai potensi memberikan paparan radiasi.

    Tingkat risikonya tergantung pada sifat fisik dan radiologis abu tersebut dan pada bagaimana abu tersebut terdistribusi atau digunakan lagi. Radioaktivitas batu bara bergantung pada jenis batuan baranya dan lokasi asal penambangannya. Konsentrasi rata-rata 238U dan 232Th dalam batu bara berturut-turut adalah 0,022 dan 0,018 Bq/gr. Ada kecenderungan bahwa radionuklida-radionuklida tersebut lebih banyak terkonsentrasi di dalam abu dari pada di dalam batubaranya sendiri.

    Pembangkit listrik yang menggunakan batu-bara menghasilkan volume abu sekitar 10% dari volume batubara. Lebih dari 95% abu tidak tersebar ke lingkungan, yang terdiri dari 20% bottom ash dan slag, sedang sisanya adalah 75% berupa abu terbang. Abu biasanya juga mengandung silikon, aluminium, besi dan kalsium. Sekitar 70%-80% abu batu bara yang dihasilkan dibuang di landfill atau kolam.

    Sering dijumpai pula adanya abu terbang, bottom ash, dan boiler slag yang digunakan sebagai pengganti semen dan beton, atau sebagai pengisi konstruksi bangunan. Di sini harus diperhatikan adanya potensi dampak jangka panjang akibat terakumulasinya. Di negara-negara maju sekitar 30% dari abu batu bara digunakan lagi sebagai aditif beton, semen, bahan atap, reklamasi, cat dan pelapisan, serta berbagai produk lainnya serta untuk bahan isian konstruksi jalan.

  • INDUSTRI MINYAK DAN GAS


 

    Radioaktivitas di dalam produksi minyak dan gas merupakan hal yang alami dan sekarang diketahui meluas dan terjadi di mana-mana. Tidak semua kilang minyak atau gas menghasilkan TENORM dengan konsentrasi besar, tergantung lokasi tempat. Sebagai contoh di Amerika Serikat hanya di Texas utara dan beberapa tempat saja yang mempunyai TENORM tinggi.

    Sedangkan di California, Utah, Wyoming dan sebagainya mengandung TENORM rendah. Uranium dan torium yang ada biasanya tidak larut, dan meskipun minyak naik ke permukaan, kedua radionuklida itu tetap berada di reservoir bawah tanah. Pada saat tekanan alami dalam lapisan tanah jatuh, maka air di dalam reservoir akan terekstraksi bersama-sama dengan minyak dan gas.

    Sebagian radium dan anak luruhnya akan larut dalam air dan bergerak bersama air ke permukaan. Karena sifat radium yang mirip dengan sifat barium dan kalsium (semuanya pada group IIA di tabel berkala), maka radium juga membentuk endapan senyawa kompleks dengan sulfat dan karbonat seperti halnya barium dan kalsium. Jumlah TENORM yang dihasilkan untuk suatu ladang minyak naik seiring dengan jumlah air yang dipompa dari dalam. Karena konsentrasi radium pada awalnya sangat bervariasi, maka radium yang terendapkan membentuk scale dan sludge di produk minyak maupun yang menempel pada peralatan sangatlah bervariasi. Ketebalan scale antara beberapa milimeter sampai satu inci. Terkadang scale tersebut mampu menyumbat aliran pipa yang berdiameter 10,1 cm. Laju paparan sangat bergantung pada lokasi geografis dan jenis peralatannya. Laju paparan yang menengah untuk peralatan penanganan air sekitar ~0,261 sampai dengan 0,348 µSv/jam. Untuk peralatan gas maka laju paparannya sekitar ~0,348 sampai dengan 0,609 µSv/jam. Namun adakalanya ditemui laju paparan melebihi ~8,7 µSv/jam.

TENORM dalam sludge yang terkontaminasi hampir sama dengan scale. Deposit yang terjadi dalam bentuk minyak, dan sludge tersebut terkadang mengandung senyawa silika dan juga senyawa barium. Sebagian besar sludge tersebut terikut dalam tangki penyimpan minyak dan tanki air. Konsentrasi radionuklida dalam sludge bervariasi dari level background sampai dengan beberapa ratus pCi/gr. Beberapa perusahaan minyak dan gas membuang produksi air ke dalam lubang tanah, dan slurry diinjeksikan dalam sumuran pada batas konsentrasi TENORM tertentu.

Namun sebagian sludge dimasukkan ke dalam drum, dan industri membuang limbah scale dan sludge yang diambil dari peralatan produksi, serta membuang peralatan tersebut yang telah terkontaminasi. Beberapa kali pemerintah Amerika Serikat mengijinkan pembuangan limbah TENORM tersebut ke lepas pantai.


 

    Penggunaan air domestik berasal dari sungai, danau, waduk, air tanah dapat mengandung NORM. Radionuklida masuk ke dalam tanah atau permukaan air ketika air tersebut bersinggungan dengan media geologi yang mengandung uranium dan torium. Radionuklida yang dominan ada dalam air adalah radium, uranium dan radon beserta anak luruhnya. Pengolahan air meliputi pengaliran air ke beberapa jenis filter dan media lain sehingga mampu mengambil impuritas dan organisme.

    Bila air diolah dengan cara tersebut maka ada kemungkinan terkumpul limbah radioaktif, meskipun pada awalnya sistem tersebut tidak dimaksudkan untuk menghasilkan limbah radioaktif. Limbah tersebut termasuk filter sludge, resin penukar ion, alum sludge, residu besi klorida, karbon aktif, serta air dari backwash air.

    Tiga teknologi yang kemungkinan menghasilkan limbah TENORM karena ketiganya menghasilkan sludge dan dikenal mengambil radioaktifitas dari air, yaitu elunak kapur (lime softener), filtrasi greensand, serta penukar ion-karbon aktif. Penukar ion menghasilkan limbah dengan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan metode yang menghasilkan sludge, namun kuantitas limbah yang terjadi lebih sedikit. *) Untuk 228Ra dan 228Th, nilai dalam kurung adalah setelah 2 tahun peluruhan

  1. REGULASI NORM DAN TENORM

    Meskipun banyak TENORM yang dihasilkan, namun pertanyaan yang muncul adalah sebatas konsentrasi berapakah NORM/TENORM menjadi faktor pengganggu kesehatan manusia? Pertanyaan mengenai NORM/TENORM yang lebih esensial lagi adalah how clean is clean? Banyak negara telah menerapkan regulasi untuk limbah NORM dan TENORM dengan memberikan suatu batas yang disebut exemption level secara sederhana untuk memberikan suatu kriteria apakah suatu limbah NORM/TENORM dapat dikatakan sebagai bahan radioaktif atau bukan. Namun Basic Safety Standards menyatakan:

The application of exemption to natural radionuclides, where these are not excluded, is limited to the incorporation of naturally occurring radionuclides into consumer products or their use as a radioactive source (e.g., Ra-226, Po-210) or for their elemental properties (e.g., thorium, uranium).

    Nilai exemption tersebut tidak dapat digunakan untuk penanganan jangka panjang terhadap limbah NORM/TENORM. Permasalahan di negara maju lebih terfokus pada penetapan regulasi, penanganan limbah NORM/TENORM di masa lalu, dan pencarian lokasi pembuangan limbah NORM/TENORM. Untuk negara berkembang hal itu menjadi sangat kompleks karena menyangkut faktor sosial ekonomi, namun paling tidak saat ini harus ada usaha dari awal untuk mencari solusi terhadap jenis limbah ini.

    Sampai saat ini IAEA belum membuat suatu guideline untuk penanganan limbah NORM dan TENORM dan masih melakukan diskusi dengan ICRP serta institusi lain untuk menetapkan clearance level dan exemption level yang dapat memperjelas bahan yang dapat di daur ulang dan bahan yang masuk kategori limbah. Hal yang menarik pula adalah di organisasi internasional tersebut sedang dilakukan proses diskusi untuk menetapkan regulasi batas radiasi yang boleh ada pada bahan komoditi, residu maupun limbah industri. Kesimpulan terakhir sampai saat ini di antara negara-negara maju mengenai NORM dan TENORM adalah regulations should be reasonable and fair to the industry, the workers and the public.


 

    Contoh nilai exemption level dalam basic safety standard (BSS) di beberapa negara anggota Uni Eropa ditunjukkan dalam contoh berikut ini. Untuk nuklida tertentu (Co-60, Cs-137, and Ra-226) adalah 10 Bq/g, hanya di sini berlaku untuk kegiatan pemanfaatan energi nuklir dan tidak dihubungkan dengan industri NORM/TENORM. Info terakhir dari seminar NORM II di Krefeld Jerman disebutkan bahwa nilai exemption level menjadi lebih tinggi, yaitu:

  • Jerman 500 Bq/gr (untuk aktivitas total NORM), 65 Bq/gr untuk Ra-226
  • Belanda 100 Bq/gr
  • Norwegia 10 Bq/gr termasuk untuk Ra-226 dan Ra-228, serta Pb-210 dari industry minyak dan gas.


    Pada bulan Juni 2001, Komisi Uni Eropa mengusulkan draft Radiation Protection 122, di mana untuk TENORM usulan kriteria pelepasan (exemption atau clearance) adalah 300 µSv/tahun untuk dosis individu. Hal ini berbeda dengan proposal IAEA yaitu yang hanya 10 µSv/tahun untuk dosis individu. Hal ini cukup membingungkan, mengingat adanya dua standar yang berbeda.

     Setelah diskusi pada Juli 2001 (1 bulan kemudian) direkomendasikan bahwa 300µSv/tahun secara de facto diterima untuk TENORM sedangkan 10 µSv/tahun adalah untuk limbah aplikasi energi nuklir. Indonesia belum mempunyai kriteria exemption level maupun clearance level untuk limbah atau bahan, baik dari kegiatan aplikasi energi nuklir maupun TENORM dari Industri. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2002 hanya menyinggung sedikit mengenai NORM/TENORM, yaitu pada pasal 32 yang menyatakan bahwa penambangan bahan nonnuklir yang dapat menghasilkan limbah radioaktif sebagai hasil samping, maka pengusaha tambangnya wajib melakukan analisis keselamatan yang dilaporkan ke Badan Pengawas Tenaga Nuklir.

    Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan terhadap timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal).

    Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional.

    Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai 100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, karena berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Berdasarkan pengalaman di negara maju, ditunjukkan bahwa pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya pengelolaan limbah tersebut secara baik.

    Dalam pemanfaatan iptek nuklir, minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu "tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata". Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah serta dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Selain penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas (dalam hal ini BAPETEN di Indonesia).

  1. PEMBUANGAN LIMBAH NORM/TENORM

    Beberapa negara aktif melakukan usaha untuk mendapatkan cara membuang limbah radioaktif, terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan energi nuklir. Sementara itu, limbah NORM/TENORM baru akhir-akhir ini saja mulai mendapatkan perhatian. Prinsip IAEA dalam penanganan limbah berwaktu paruh panjang adalah:

Radioactive waste should be managed in a way that predicted impacts on the health of future generations do not exceed levels which are accepted today.

    Prinsip ini dijabarkan dalam pembuangan atau isolasi limbah radioaktif dengan sistem penghalang ganda termasuk pembuangan tanah dalam (deep geological disposal) dan pembuangan dekat permukaan (near surface disposal). Secara prinsip tidak terdapat perbedaan persyaratan dalam pembuangan limbah NORM/TENORM dan pembuangan limbah radioaktif. Pembuangan limbah radioaktif yang masuk dalam kategori limbah aktivitas rendah dan sedang mengikuti persyaratan:

  • Lokasi pembuangan limbah radioaktif tidak dekat dengan lokasi pensuplai air minum masyarakat.
  • Lokasi pembuangan limbah diperlengkapi dengan sistem saluran air sehingga air genangan tidak akan atau jarang terjadi.
  • Tanah lokasi mempunyai kapasitas yang cukup seperti halnya kapasitas pertukaran ion.
  • Kedalaman pembuangan limbah harus selalu memperhatikan water Tabel.
  • Aliran air tanah pada lokasi limbah bergerak lambat (sekitar beberapa centimeter per hari)
  • Tanah lokasi pembuangan dimiliki oleh negara.

Untuk limbah radioaktif tingkat rendah dapat digunakan metode 'dump and fill' yang dapat diaplikasikan untuk limbah NORM atau TENORM dengan persyaratan lokasi antara lain:

  • Adanya 'vault' yang didesain untuk melindungi manusia dan lingkungannya dari efek merusak dari radiasi.
  • Faktor keselamatan pekerja dan masyarakat harus diperhatikan selama periode sebelum penutupan.
  • Periode sebelum penutupan lokasi pembuangan mampu memberikan keuntungan sebesar-besarnya dan kerugian seminimal mungkin bagi lingkungan sekitar.
  • Terdapat prediksi migrasi, potensi bahaya, kemampuan wadah limbah di lokasi pembuangan menggunakan suatu model komputer, sehingga dapat diramalkan potensi gerakan radionuklida dari lokasi limbah melewati geosphere le biosphere dan akhirnya ke manusia.


     

    Terdapat opsi lain yang menarik dari pembuangan limbah yaitu pembuangan di tanah dalam untuk NORM/TENORM, atau pembuangan di formasi geologi. Lokasi tersebut memberikan perisai, sekaligus penghalang terhadap intervensi atau gangguan manusia. Terdapat banyak media yang berpotensi sebagai tempat pembuangan limbah, yaitu sedimentary clay, tuff, basalt, salt dan lain sebagainya. Pembuangan limbah radioaktif ke laut sudah lama ditinggalkan, meskipun ada berita pada tahun 1992 bahwa Uni Soviet membuang limbah radioaktif tingkat tinggi ke laut selama tiga dekade. Kegiatan pembuangan limbah radioaktif ke laut dimulai sejak 1946, dan kemudian menjadi sangat populer. Namun sejak 1972, ada konvensi London sebagai langkah awal pelarangan pembuangan limbah radioaktif ke laut, dan ditegaskan lagi pada konvensi tahun 1993 akibat kekawatiran dampak kesehatan masyarakat dan lingkungan.

    Terdapat opsi yang lain yaitu pembuangan limbah radioaktif ke bekas lokasi pertambangan. Hal ini harus diikuti dengan desain penyimpanan (storage) sehingga mencegah radionuklida keluar dari wadahnya. Namun hal yang menarik dari opsi ini adalah bahwa pergerakan radionuklida akan sangat lambat di lokasi bekas tambang, sehingga lokasi ini menjadi sangat atraktif sebagai tempat pembuangan limbah NORM/TENORM.


 


 

  1. REAKTOR NUKLIR YANG TERJADI SECARA ALAMI


     

    Pada tahun 1972 para ilmuwan Perancis dipimpin Francis Perrin secara tidak sengaja menemukan sesuatu yang aneh pada kandungan uranium di pertambangan Oklo, Gabon, Afrika Barat. Kandungan isotop uranium-235 di daerah itu setengah lebih rendah dibandingkan isotop yang sama di seluruh dunia.

    Kondisi abnormal ini sangat mirip dengan kandungan uranium-235 yang ada di dalam bahan bakar nuklir bekas reaktor nuklir.  Ternyata, komposisi dan kandungan isotop-isotop lain juga sangat mirip dengan yang terdapat pada bahan bakar bekas PLTN. Dengan demikian disimpulkan bahwa pada masa lalu pernah terjadi reaktor nuklir alam.

    Diperkirakan di Oklo telah terjadi paling tidak 6 reaktor nuklir yang beroperasi secara alami tanpa campur tangan manusia. Pada awalnya banyak pihak yang meragukan kesimpulan ini, namun setelah dipelajari secara seksama, reaktor nuklir alam di bawah tanah tersebut bisa terjadi karena dua hal utama, yaitu adanya peran air dan kandungan uranium-235 yang relatif tinggi saat reaktor beroperasi.

    Air berfungsi menurunkan kecepatan partikel netron sehingga mampu bereaksi dengan uranium-235. Diperkirakan 1,7 milyar tahun yang lalu kandungan uranium-235 adalah 3% (atau 4 kali lebih tinggi dari prosentase saat ini) sehingga sangat cukup untuk terjadinya reaksi fisi. Reaktor nuklir alam ini beroperasi selama jutaan tahun dan berhenti dengan sendirinya karena dengan berjalannya waktu jumlah uranium-235 berku

rang sehingga sulit menimbulkan reaksi nuklir berantai dan dengan keadaan tersebut fenomena reaktor alam tidak akan pernah terjadi lagi di zaman modern.

    Reaktor alam Oklo menghasilkan limbah radioaktif yang komposisinya sangat mirip dengan limbah dari reaktor nuklir buatan manusia dan limbah ini tetap berada di bawah tanah terkungkung batuan granit, sandstone dan tanah liat selama ratusan juta tahun tanpa berpindah ke tempat lain.  Bahkan plutonium sebagai hasil reaksi nuklir hampir 2 milyar tahun lalu juga hanya bergeser sekitar 4 meter dari posisi awal.   Sampai saat ini tidak ada bukti bahwa limbah radioaktif tersebut terlepas dari lingkungan aslinya atau bahkan mencapai manusia.  

    Limbah radioaktif dari reaktor alam Oklo yang terjadi pada 1,7 milyar tahun yang lalu di Gabon, Afrika tetap ditempatnya terkungkung oleh formasi geologi sekitarnya. Para ahli  mempelajari secara seksama komposisi batuan Oklo dimana limbah tersimpan secara alami untuk jangka sangat panjang. Ditambah dengan hasil eksperimen di laboratorium untuk kondisi lokal masing-masing calon tempat penyimpanan akhir, maka para ahli limbah radioaktif mampu merancang tempat penyimpanan akhir limbah radioaktif yang dapat bertahan untuk jangka waktu yang sangat lama seperti halnya di Oklo tersebut.  

Fenomena zat radioaktif yang tidak terlepas dari lingkungannya selama waktu yang lama terjadi pula di lokasi deposit uranium Kanada, Australia dan banyak daerah lain, meskipun di lokasi tersebut tidak terjadi reaktor nuklir alam. Di lokasi Cigar Lake, Kanada pada kedalaman 430 meter di bawah permukaan tanah terdapat deposit uranium dengan kandungan tinggi (11% dari total cadangan uranium dunia) yang tidak berpindah dari sejak sekitar 1,3 milyar tahun lalu. Dan yang mengagumkan adalah sama sekali tidak ditemukan uranium di permukaan tanah di lokasi tersebut.

    Struktur tanah yang melindungi uranium di Cigar Lake sangat mirip dengan konsep penyimpanan limbah radioaktif modern yang dirancang para ahli. Uranium di kedalaman 430 meter ini bertahan selama ratusan juta tahun meskipun terjadi perubahan alam seperti terbentuknya pegunungan (Rocky Mountain dan Applachians), zaman es, perubahan bentuk benua dan erosi yang terjadi.  Kanada menggunakan analogi yang terjadi di Cigar Lake dikombinasikan dengan hasil eksperimen dan simulasi di laboratorium Manitoba untuk membuat konsep fasilitas penyimpanan akhir limbah radioaktif yang diperkirakan jauh lebih aman dari pada yang ada di Cigar Lake.

    Contoh yang lain adalah Lock-Lomond di Skotlandia yang bisa menjadi analogi interaksi zat radioaktif dengan tanah liat selama 6000 tahun dan lokasi Morro de Ferro Brazil serta Alligator River di Australia sebagai contoh perpindahan/migrasi uranium untuk jangka yang sangat lama.  Kesemua contoh tersebut menunjukkan bahwa zat radioaktif yang terbentuk tidak banyak bergeser dari lokasi awal terbentuknya di masa lalu.


 

Daftar Pustaka


 


 

  1. International Atomic Energy Agency, Radioactive Waste Management Status and Trends No.1, IAEA, Vienna, 2001.
  2. International Atomic Energy Agency, Radioactive Waste Management Status and Trends No.2, IAEA, Vienna, 2002.
  3. United States Environmental Protection Agency, http:www.epa.gov/rpdwen00/tenorm/, EPA, 2002
  4. Bhattacharyya, D.K., Issues in the disposal of waste containing naturally occurring radioactive material, Applied Radio Isotop, Vol. 49, No.3, 1998
  5. Hutchinson, D.E. et al, Near surface Disposal of Concentrated NRM Waste, Applied Radio Isotop, Vol. 49, No.3, 1998
  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 tahun 2002 tentang PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF.
  7. International Atomic Energy Agency, Proceedings of Radioactive Wastes from Non-Power Application- Sharing the Experience, Malta, 5-9 November 2001.

  8.  


 


 

No comments:

Post a Comment